"TI URANG, NU URANG, KU URANG, KEUR BALAREA"

Selasa, 03 Februari 2009

AGAMA RAKYAT : ceramah AF Ghazali

Menuliskan Tradisi Lisan Sunda

K.H. A.F. Ghazali sepertinya bukan nama yang asing bagi masyarakat
Muslim Sunda, terutama kalangan pesantren dan masyarakat di desa-desa
di tanah Pasundan ini. Namanya adalah jaminan untuk urusan ceramah
(dakwah billisan). Pada setiap kesempatan ceramahnya, ia memilih
bahasa Sunda sebagai medium menyampaikan pesan-pesan agama kepada
audiensnya. Pilihan tersebut disadari betul dalam konteks dirinya
sebagai manusia Sunda yang dibesarkan dalam rahim kebudayaan Sunda.
Dan, bukankah para nabi juga menggunakan bahasa lokal atau ujaran
kaumnya (billhughati qaumihim) dalam menyampaikan risalah kepada
umatnya.

Strategi tersebut boleh jadi menginspirasi Ghazali untuk memilih
bahasa Sunda sebagai pengantar dalam dakwahnya. Hasilnya,
ceramah-ceramah yang disampaikan Ghazali tidak hanya menjadi tontonan
di panggung dan momen pengajian, tetapi juga menjadi tuntunan yang
menelisik lubuk terdalam kesadaraan para jemaahnya.

Tidak semua dai memiliki keahlian berceramah yang memikat seperti
Ghazali. Maka, dalam konteks tersebut, ceramah menjadi skill dan seni
tersendiri yang tidak hanya bernilai profan (duniawi), tetapi juga
berdimensi sakral (suci) bagi umat Islam. Ceramah, dalam konteks
ajaran Islam tidak lain merupakan perwujudan titah Tuhan untuk amar
makruf nahi mungkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) .
Akan tetapi, untuk ibadah seperti itu, tidak semua orang Muslim mampu
menjalankannya dengan halus, santun, bahkan jenaka seperti yang
dilakukan Ghazali. Ia piawai mengemas ajaran-ajaran Islam dengan
bahasa Sunda bagi khalayak sasarannya yang utama, yaitu penduduk desa
di Jawa Barat. Bahasa asli penduduk Jawa Barat adalah bahasa Sunda,
yang dewasa ini digunakan oleh kurang lebih 27.000.000 orang (Julian
Millie: 2008).

Bahasa Sunda termasuk bahasa lokal penduduk Indonesia yang sudah tua,
namun bahasa Sunda menjadi salah satu bahasa yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (modernitas) seperti yang
dilakukan oleh bahasa nasional Indonesia. Karena pada aktivitas sosial
sehari-hari, masyarakat Sunda kontemporer lebih mengandalkan bahasa
Indonesia. Maka, tidak heran jika beberapa ujaran dalam ceramah
Ghazali, baik yang berbentuk rekaman kaset, apalagi dalam bentuk
tulisan, seperti terhimpun dalam buku Agama Rakyat: Ceramah-ceramah
A.F. Ghazali, banyak yang asing bagi generasi muda Sunda kontemporer.

"Verba volant, scripta manent"

Maret 2008 lalu sebuah buku unik berjudul The People`s Religion : The
Sermons of A.F. Ghazali (Agama Rakyat: Ceramah-ceramah A.F. Ghazali)
diluncurkan. Buku tersebut merupakan hasil transkripsi dari
ceramah-ceramah sang dai yang selama ini terdokumentasikan dalam
bentuk rekaman kaset. Dari puluhan tema ceramah yang terrekam dalam
kaset, buku yang ditulis Julian P. Millie --peneliti dari Monash
University Australia-- memilih empat tema sebagai topik yang ditulis,
"Ayat-ayat Allah", "Ngabageakeun Muharam", "Tobat", dan "Tugas
Risalah". Hasilnya adalah satu format buku bilingual, bahasa Sunda dan
bahasa Inggris.

Buku ini boleh jadi yang pertama dalam jenisnya. Menuliskan ceramah
dai kondang memang sudah banyak dilakukan. Namun, upaya tersebut
biasanya dengan mengubah bahasa lisan (ceramah) menjadi bahasa
tulisan. Konsekuensinya, banyak unsur dalam bahasa ujaran tersebut
yang hilang karena harus tunduk pada aturan gramatika dan sense yang
lazim dalam bahasa tulis. Nah, pada konteks ini, buku tersebut menjadi
berbeda. Pasalnya, buku tersebut sepenuhnya menuliskan ceramah Ghazali
dalam bentuk aslinya, yaitu bahasa lisan. Tujuannya, seperti diungkap
penulisnya dalam pengantar buku tersebut bahwa format seperti itu
untuk menangkap norma-norma kebudayaan dan keagamaan di lingkungan
sosial tertentu, yakni masyarakat Sunda. Dengan tetap mempertahankan
ungkapan aslinya, maka menuliskan ceramah dalam buku ini merupakan
upaya untuk mempertahankan watak lisan dari ceramah tersebut.

Akan tetapi, cara seperti itu, mentranskrip bahasa lisan, memiliki
kelemahan tersendiri. Hal demikian juga disadari oleh penulis buku
ini. Maka, ketika ceramah itu menjadi tulisan, walhasil,
ceramah-ceramah tersebut menjadi asing bagi pembaca. Konvensi dan
kebudayaan yang diungkapkan oleh Ghazali boleh jadi terbilang baru
bagi sejumlah orang. Namun, terlepas dari hal itu, bahasa lisan
memiliki koherensi dan logika yang berbeda dari yang terdapat dalam
tuturan tulisan. Dalam bahasa ujaran, gagasan-gagasan tidak selalu
runtut betul dan dialog-dialog yang diciptakan oleh sang dai dengan
khalayaknya tidak mudah diungkapkan dalam tulisan.

Tradisi lisan yang identik dengan masayarakat tradisional lebih banyak
berbentuk dongeng, mitos, pantun, dan jampi-jampi yang diwariskan dan
dikonservasi melalui ujaran dari satu generasi ke generasi penerusnya.
Namun, sering kali tradisi tersebut punah di tengah pusaran zaman.
Maka dengan itu, masyarakat tersebut tidak hanya kehilangan satu
khazanah bahasa lisan, tetapi juga nilai dan episteme dari masyarakat
penutur bahasa tersebut.

Ceramah bisa jadi merupakan metamorfosis tradisi lisan dalam
masyarakat Sunda yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Terlebih,
ceramah yang menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Sunda adalah
suatu kekayaan budaya yang menjadi identitas masyarakat Sunda itu
sendiri. Tradisi lisan merupakan cerminan identitas masyarakat atau
golongan tempat mereka hidup. Tentu saja, khazanah tersebut tidak
boleh hilang hanya karena sang penutur, sang dai, meninggal dunia.

K.H. A.F. Ghazali setelah wafat tahun 2001 mewariskan ceramahnya bagi
jemaahnya di tatar Sunda. Saya dan jutaan warga Jawa Barat adalah
pewaris aktif (active bearers) tradisi lisan Sunda. Saya sangat
apresiatif kepada Julian P. Millie, penulis buku The People`s
Religion: The Sermons of A.F. Ghazali. Karyanya akan mendokumentasikan
dan menyelamatkan khazanah kebudayaan masyarakat Sunda dari senjakala
kepunahan. Dengan menuliskan tradisi lisan tersebut, maka ceramah
sebagai satu khazanah budaya diawetkan dan dilestarikan dalam bentuk
tulisan, verba volant, scripta manent. (Dede Syarif, peneliti dan
dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar