Selain si Cepot, wayang denawa atau raksasa juga dibuat sedemikian rupa, sehingga otak kepalanya bisa terburai berantakan ketika dihantam gada lawannya.
Dia dipuji dan juga dikritik dengan karya terobosannya itu. Namun, kritikan itu makin emacu semangat dan kreativitasnya. Keuletannya membuahkan hasil, namanya semakin populer. Terutama setelah Asep meraih juara dalang pinilih I Jawa Barat pada 1978 dan 1982. Kemudian paada 1985, ia meraih juara umum dalang tingkat Jawa Barat dan memboyong Bokor Kencana.
Pengakuan atas kehandalan dan kreativitasnya mendalang, bukan saja datang dari masyarakat Jawa Barat dan Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Dia pernah menjadi dosen luar biasa di Institut International De La Marionnete di Charleville Prancis. Dari institut itu dia mendapat gelar profesor.
Asep Sunarya lahir 3 September 1955 di Kampung Jelengkong, Kecamatan Baleendah, 25 km arah selatan Kota Bandung. Bernama kecil Sukana, anak ketujuh dari tiga belas bersaudara keluarga Abah Sunarya yang dikenal sebagai dalang legendaris di tanah Pasundan.
Sejak kecil, terutama sesudah remaja, ia sudah berambisi menjadi dalang. Makanya, setamat SMP, ia mengikuti pendidikan pedalangan di RRI Bandung. Meski ayahnya seorang dalang legendaris di kampungnya, Asep memilih belajar dalang dari Cecep Supriadi di Karawang.
Berbeda dengan pendahulunya yang mendalang tempat-tempat tertentu saja, Asep justru tekun mensosialisasikan wayang golek yang inovatif ke kampus-kampus, hotel-hotel, gedung-gedung mewah dan televisi. Upayanya membuahkan hasil. Wayang golek populer di berbagai tempat. Penampilannya yang selalu menarik perhatian mengundang decak kagum penonton baik anak muda maupun orang tua.
Popularitas dalang yang telah menikah lima kali dan mempunyai sembilan anak ini pun semakin tinggi. Tidak saja dia diundang pentas mendalang di dalam negeri, tetapi juga di berbagai kota di Benua Asia, Amerika dan Eropa. ►e-ti/tsl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar